Seiring berjalannya waktu, makin jelas bagaimana kita sangat tergantung pada teknologi. Ngobrol dengan keluarga via chat di Zoom atau WA group; meeting kerja atau gereja, kerja dari rumah, kantor, di mana saja, main game dan medsos, screen time kita makin lama makin bertambah karena kita menggantungkan diri pada teknologi untuk koneksi antarmanusia. Tanpa sadar kita menghabiskan sebagian besar waktu kita di depan layar (baik layar komputer atau handphone yang tak pernah lepas dari tangan kita). Pernahkah kita berhenti sebentar dan memikirkan bagaimana teknologi yang kita pakai tiap hari membentuk diri kita? Mungkinkah teknologi secara subtil mengajarkan, membentuk, dan memengaruhi kita tentang apa yang baik, jahat, dan apa artinya menjadi manusia terlepas dari apa yang kita dengar dan pelajari dari Firman Tuhan?
Generasi Z di Dunia Kerja: Fenomena dan Tantangan
Kesadaran saya muncul ketika mendengar dan menghadapi berbagai keluhan teman, saudara, dan kolega tentang sulitnya menangani Gen Z di dunia kerja. Betapa berbedanya sikap, perilaku, dan tindakan mereka. Dan sebaliknya, Gen Z pun berkeluh kesah bagaimana perlakuan para senior di tempat kerja berakibat buruk bagi kesehatan mental mereka. Sebetulnya apa yang terjadi?
Mulailah saya mengamati fenomena yang terjadi sehari-hari di dunia kerja. Saya dosen paruh waktu sejak 2012 dan dosen tamu sejak 2008 di berbagai perguruan tinggi. Beberapa tahun terakhir ini mahasiswa tingkat akhir yang saya ajar makin sulit fokus dan tidak tahu apa yang mereka inginkan setelah lulus kuliah. Ketika bertanya di kelas, pertanyaannya berpusat pada “how to” dan menuntut jawaban presisi yang akan mereka telan mentah-mentah, sehingga mereka kaget ketika saya menjawab dengan balik bertanya, dengan harapan mereka mau berpikir dan mencerna permasalahan. Sangat berbeda dengan mahasiswa di tahun-tahun awal saya mulai mengajar. Mereka begitu haus dengan pengetahuan dan bertanya dengan agresif. Pertanyaan mereka menggambarkan pikiran mereka yang mengkritisi teori dengan praktik bisnis ataupun apa yang mereka amati.
Teman saya, seorang manajer di perusahaan makanan minuman besar, juga bingung bagaimana menghadapi karyawan baru Gen Z. Memang tidak semua, tapi sebagian besar yang direkrut punya permasalahan serupa sehingga tingkat retensi pegawai rendah dengan tingkat kecepatan keluar masuk pegawai yang tinggi. Ketika diberikan tugas, mereka akan kerjakan seperti yang mereka inginkan dan kurang mencari tahu bagaimana seharusnya pekerjaan itu dilakukan. Kesalahan berulang terus terjadi dan ketika diberikan umpan balik, mereka sulit untuk melihat di mana letak kesalahannya. Mereka merasa sudah melakukan tugas sesuai cara mereka, padahal hal itu menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Mereka tidak mencari tahu lebih dulu bagaimana selama ini tugas itu dikerjakan karena merasa mereka orang terdidik yang mampu melakukan hal itu. Selama ini mereka mencari informasi dan acuan dari dunia maya yang cara kerjanya tergantung pada algoritma sehingga paparan yang mereka terima itu-itu saja. Sulit bagi mereka untuk adaptasi di dunia nyata yang memerlukan pertimbangan dan melihat dari berbagai sudut pandang dalam menyelesaikan suatu tugas atau masalah.
Orang tua Gen Z ini juga sama tidak sabaran dan ingin instan seperti anaknya. Melihat anak bekerja lembur dan menghabiskan banyak waktu transportasi ke tempat kerja dengan upah standar, dalam beberapa bulan saja meminta anaknya berhenti kerja, mencari pekerjaan lain, atau mendukung anaknya yang “menyerah” tidak tahan terkena tekanan mental dunia kerja di dunia nyata.
Efek Teknologi pada Perilaku Manusia
Sepertinya tanpa sadar, teknologi yang kita pakai selama ini yang serba cepat dan instan membuat kebiasaan hidup kita berubah. Ketika segala sesuatu hanya sejauh “satu klik” saja, maka ketika kita harus menunggu, berproses, atau dibentuk, kita menjadi tidak nyaman, tidak sabar, dan memilih untuk “escape” ke hal berikutnya yang ada dalam jangkauan tangan kita. Betapa mengerikannya ketika kita dibentuk oleh media sosial. Ketika tiap saat kita mengakses media sosial, handphone, ataupun komputer, semua data yang terkumpul membentuk profil online kita yang makin lama makin akurat. Algoritma makin tepat memprediksi apa yang ingin kita lihat dan merekomendasikannya pada kita, mendorong kita untuk menghabiskan lebih banyak waktu online atau menghabiskan lebih banyak uang dengan berbelanja. Perlahan tapi pasti algoritma memengaruhi kita – kita menjadi apa yang kita sembah. Penelitian menunjukkan korelasi tinggi antara tingginya penggunaan media sosial dengan penurunan tingkat kesehatan fisik dan mental seseorang, terutama remaja putri. 64% orang yang bergabung dengan kelompok ekstremis karena didorong oleh algoritma teori konspirasi yang disebarkan oleh cerita palsu dengan kecepatan 6 kali lebih cepat dari fakta.
Solusi Kristen di Era Digital
Hal ini mengingatkan saya betapa dalam segala aspek kehidupan ada akibat/efek dari kejatuhan manusia. Teknologi dibuat dan digunakan oleh manusia yang sudah jatuh dalam dosa dan hidup di dunia yang penuh dosa. Dengan kesadaran ini, kita bisa mulai lebih cermat, bijak, dan berhikmat untuk me-redeem dampaknya, karena kita masih hidup di abad modern yang serba digital ini. Dunia kerja tidak akan terlepas dari pemanfaatan teknologi. Beberapa poin yang dapat kita coba terapkan:
Menyadari Identitas dan Membangun Relasi Nyata
Terus-menerus menyadari identitas diri kita sebagai anak-Nya dan bersandar padaNya. Kita terdorong masuk dalam media sosial karena mengidamkan koneksi interpersonal yang dapat dipenuhi sebagian kecilnya saja oleh medium ini. Menjalin relasi nyata di dunia nyata lebih penting dan prioritas, termasuk di dunia kerja. Anak muda perlu didorong untuk belajar “social skills” interaksi nyata antarmanusia di dunia kerja. Yang lebih senior atau berpengalaman dapat lebih bersabar dan tekun membimbing mereka. Galatia 4:9, "sekarang kita sudah mengenal Allah – masakan kita berpaling dari-Nya pada kekuatan yang memperbudak kita?" Sampai kita benar-benar menangkap betapa menyeluruhnya Allah mengenal kita dan mengisi keinginan kita, kebutuhan akan relasi hanya di dalamNya, kita akan tetap rawan untuk jatuh dalam terus-menerus mencari koneksi dan relasi di tempat-tempat yang keliru. Contoh: kami menerapkan “buddy system” di kantor di mana satu anak baru dipasangkan dengan satu karyawan lama; mereka diberi budget untuk makan siang bersama sebanyak 4 kali di 3 bulan pertama.
Menerapkan Hikmat dalam Konteks Kerja
Dibutuhkan hikmat untuk memperhatikan dengan cermat konteks pekerjaan kita agar kita dapat bertindak meminimalkan kejatuhan manusia dan sistem, juga dengan berani keluar melakukan tindakan yang kita doakan dapat menghasilkan buah terbaik. Ketika dunia kerja kita berfokus pada keuntungan pribadi, kita mencari cara untuk melayani kepentingan umum, common good, memupuk berkembangnya dunia sekitar kita ketika kita dengan kasih berelasi dengan Tuhan, tetangga, rekan kerja, alam sekitar, dan diri kita sendiri. Contoh: di kantor kami yang hampir 100% pekerjaannya dilakukan dengan komputer dan berkelana di dunia maya, kami terapkan digital detox hours ketika rapat dan makan siang 2 hari dalam seminggu. Setelah ngobrol dan berdiskusi, ada inisiatif dari karyawan-karyawan muda untuk menyisihkan 1x uang makan siang dalam seminggu untuk membeli pulsa bagi petugas kebersihan/keamanan outsourcing kantor. Karena saat ini sulit bila tidak punya pulsa dan gaji tidak naik sementara harga-harga naik.
Penutup
Masih ada banyak hal yang dapat kita kerjakan. Semoga kita diberi hikmat dan kepekaan sehingga kita dapat membawa shalom dan menjadi berkat di tempat kita bekerja di abad digital ini.