Terjebak diPekerjaan Yang Anda Tidak Suka?Apa Saja Pilihan Anda?

Yosafat Wiguna

Ditulis oleh: Leslie Koh, City Bible Forum, Australia (6 April 2023)

Dan diterjemahkan oleh Yosafat Wiguna (Nopember 2025)

Hampir semua orang pernah mengalami hal ini pada suatu titik dalam hidupnya: terjebak dalam pekerjaan yang tidak Anda sukai. (Kalau Anda merasa sudah berada di pekerjaan terbaik di dunia—wah, Anda benar-benar beruntung!)

Dan Anda pasti sangat tidak asing dengan perasaan-perasaan berikut:

o   Perasaan cemas yang mulai muncul pada Minggu malam dan memuncak pada Senin pagi ketika Anda bangun dan berpikir, “Yah, mulai lagi.”

o   Rasa bosan dan jenuh yang muncul di kantor, ketika Anda mengerjakan tugas-tugas secara otomatis dan tanpa semangat, memandang keluar jendela dan berharap Anda sedang berada di tempat lain.

o   Godaan untuk menyapu bersih semua yang ada di meja Anda, membuang laptop ke tempat sampah, dan pergi begitu saja. (Secara pribadi, saya bahkan pernah berharap kantor saya terbakar semalaman sehingga saya tidak perlu masuk kerja—tapi itu cerita lain.)

Lalu, apa yang bisa kita lakukan dalam situasi seperti ini?

Jika kita bukan pengikut Kristus, mungkin kita hanya akan mempertimbangkan hal-hal praktis, sepeti: apakah kita mampu secara finansial untuk berhenti bekerja, atau bagaimana caranya bernegosiasi untuk mendapat posisi yang lebih baik. Coba saja ketik di Google ‘What if I’m stuck in a job’, dan Anda mungkin akan menemukan banyak sekali artikel yang memberikan saran-saran praktis yang bagus.

Namun sebagai orang Kristen, kita ingin merespons dengan cara yang menghormati Tuhan. Kita ingin memastikan bahwa keputusan yang kita ambil sesuai dengan jalan-Nya dan kehendak-Nya, sehingga kita tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang membuat kita menyesal.

Hal itu membuat semuanya menjadi lebih menantang, karena tidak selalu ada jawaban yang “benar” atau “terbaik”. Bagaimana jika Tuhan ingin kita tetap berada dalam pekerjaan yang membosankan atau sulit karena Ia memiliki rencana penting bagi kita ke depannya? Atau, bagaimana jika sebenarnya Ia sudah menyiapkan pekerjaan yang lebih baik, tetapi kita perlu mencarinya—atau menunggu sampai itu datang?”

Dengan melibatkan Tuhan dalam situasi ini, banyak pertimbangan kita akan berubah. Namun, itu tidak berarti kita harus menyerah begitu saja dan menunggu apa yang dianggap ‘tak terhindarkan’ terjadi. Meskipun Alkitab menegaskan bahwa kita harus tunduk pada kehendak Tuhan (Yakobus 4:13–15), Alkitab juga menekankan pentingnya perencanaan yang bijaksana dan berhati-hati. Amsal 21:5, misalnya, mengatakan bahwa: “Rancangan orang rajin pasti mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa pasti mengalami kekurangan.”

Saya mendapati bahwa setiap kali saya merasa tidak bersemangat, menanyakan dua pertanyaan kunci di bawah ini kepada diri saya sendiri (beserta pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang muncul darinya) membantu saya memikirkan situasi saya dengan lebih bermakna. Pada gilirannya, hal itu membuat doa-doa saya menjadi lebih terarah dan rinci, begitu juga dengan rencana-rencana praktis saya.

1.    Sebenarnya, apa yang Anda (saya) tidak sukai dari pekerjaan Anda?

Sangat mudah untuk berkata, “Aku benci pekerjaanku!”, tetapi akan jauh lebih bijaksana jika kita menggali lebih dalam dan bertanya pada diri sendiri: Sebenarnya, bagian mana dari pekerjaan ini yang tidak saya sukai? Misalnya:

o   Jika yang menjadi masalah adalah sifat pekerjaan itu sendiri, adakah sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk mengatasinya?

Bisakah Anda meminta perubahan ruang lingkup pekerjaan atau pindah bagian? Bisakah Anda berbicara dengan atasan tentang bagaimana Anda bisa melakukan lebih banyak hal yang Anda sukai, dan lebih sedikit hal yang tidak Anda sukai?

Bisakah Anda mempertimbangkan untuk merubah perspektif, mengingat bahwa untuk melakukan tugas yang kita sukai (dalam kasus saya, mengedit atau menulis), kita sering harus menerima bagian-bagian yang tidak kita sukai (tugas administratif seperti rapat atau menulis email)? Bisakah Anda belajar lebih menghargai hal-hal yang Anda tidak sukai, dan menerima itu sebagai bagian dari “kehidupan”?

o   Jika masalahnya adalah rekan kerja atau atasan Anda, hal apa sebenarnya dari mereka yang mengganggu Anda?

Apakah ada perilaku tertentu yang bisa Anda bicarakan dengan jujur—namun tetap secara bijaksana dan sensitif?

Apakah memungkinkan untuk tidak terlibat dalam isu atau pembicaraan dengan seseorang yang memicu diri Anda? Atau, jika perlu, membatasi percakapan dengan rekan kerja yang suka berkata kasar atau menjatuhkan semangat? Mungkin kita bisa dibimbing oleh nasihat Paulus dalam Roma 12:18: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam damai dengan semua orang!”

Berurusan dengan orang lain secara benar di hadapan Tuhan selalu menjadi tantangan; mungkin tidak selalu memungkinkan untuk menyelesaikan konflik dengan setiap individu. Namun, ketika kita mengingat natur dosa kita dan bagaimana kita masih merupakan “karya yang sedang diproses” yang telah diampuni dan sedang diubahkan oleh Roh Kudus, kita dapat belajar memberikan kasih karunia kepada orang lain. Ingatlah bahwa mereka pun mungkin sedang berada dalam perjalanan pertumbuhan.

o   Apa tujuan Tuhan menempatkan Anda di sana?

Pernah suatu kali, ketika saya mempertimbangkan untuk meninggalkan tempat kerja, saya menyadari bahwa Tuhan mungkin ingin saya tetap tinggal bukan karena pekerjaannya itu sendiri—melainkan agar saya dapat membuat perbedaan melalui cara saya memperlakukan rekan kerja, dan sekadar menghadirkan kehadiran seorang Kristen di lingkungan kerja.

Bisakah pekerjaan Anda saat ini menjadi tempat untuk menunjukkan kasih Tuhan dan memperlihatkan kepada dunia bagaimana seorang murid Kristus berperilaku?

o   Mungkin Anda hanya butuh istirahat?

Seorang mantan atasan pernah menasihati saya tentang pentingnya mengambil cuti secara berkala, dan ia benar! Dulu saya selalu mencoba menabung jatah cuti untuk liburan panjang, tetapi itu berarti saya tidak punya waktu istirahat selama 11 bulan lainnya yang terasa sangaaaaat panjang.

Tidak heran Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk beristirahat melalui hari Sabat. Dan ketika nabi Elia merasa kelelahan dan putus asa, respons pertama Tuhan adalah membiarkan dia makan dan tidur (1 Raja-raja 19:3–9). Bahkan hamba-hamba Tuhan yang besar sekalipun membutuhkan istirahat mental dan fisik!

2. Apa saja pilihan yang Anda (saya) miliki?

Pernyataan menyeluruh lain yang sering saya dengar (termasuk dari diri saya sendiri) adalah: “Saya tidak punya pilihan! Saya hanya terjebak di sini!” Dan kemudian saya bisa mendengar suara lain yang dengan lembut bertanya: “Benarkah?”

Salah satu sumber frustrasi dan keputusasaan terbesar adalah hidup dengan perasaan bahwa kita terjebak dan tidak memiliki pilihan. Namun bisa jadi ini hanyalah asumsi yang perlu kita telusuri lebih jauh. Berikut beberapa pertanyaan yang patut dipertimbangkan:

o   Seberapa terjebaknya Anda dalam pekerjaan Anda?

Sebagian dari kita mungkin berada dalam situasi di mana berhenti bekerja benar-benar bukan pilihan. Mungkin Anda adalah pencari nafkah keluarga, Anda telah menandatangani kontrak yang tidak mampu Anda batalkan, atau Anda sedang melakukan sesuatu yang tidak bisa begitu saja ditinggalkan, seperti usaha keluarga atau proyek yang Anda mulai. Atau, Anda sedang menjalani Tugas Negara.

Itu memang berat, dan saya sangat bersimpati kepada Anda! Mungkin—dan ini jelas tidak mudah—hal yang bisa membantu adalah berfokus bukan pada hal-hal yang Anda harap bisa lakukan (tapi tidak bisa), melainkan pada hal-hal yang bisa Anda lakukan. Terus-menerus memikirkan “seandainya” atau “bagaimana kalau” hanya akan membuat kita semakin tertekan. Jika Tuhan menempatkan kita dalam situasi yang sulit untuk alasan yang belum kita pahami, saya percaya Dia akan memberi kita kekuatan dan hikmat untuk melalui lembah yang paling gelap sekalipun.

Meskipun demikian, bagi sebagian besar dari kita, kemungkinan besar tetap ada pilihan—hanya saja pilihan-pilihan itu mungkin tidak mudah, dan mungkin melibatkan konsekuensi besar. Anda mungkin harus membayar denda karena mengakhiri kontrak kerja lebih awal. Anda mungkin harus melepaskan mobil yang baru saja Anda ambil melalui pinjaman. Atau bahkan melepaskan rencana memiliki rumah yang lebih besar dengan cicilan memberatkan yang justru membuat Anda terjebak sejak awal.

Dalam hal ini, kita mungkin menemukan bahwa jawaban untuk pertanyaan “Bisakah saya berhenti?” sebenarnya adalah “Bisa, tapi ada biayanya.” Pertanyaannya sekarang berubah menjadi: Apakah itu sepadan?

Hal ini dapat mengubah cara pandang kita terhadap ketidakpuasan kita dalam pekerjaan. Alih-alih melihatnya secara terpisah, kita bisa mulai menyeimbangkan kebutuhan kita akan pemenuhan diri dengan kebutuhan dan keinginan lainnya. Kita mungkin memutuskan bahwa pekerjaan ini sebenarnya tidak terlalu buruk, jika pekerjaan ini membantu membiayai impian kita atau memungkinkan kita menikmati keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Atau, kita mungkin mengambil keputusan yang sulit tetapi perlu untuk berganti pekerjaan, jika, misalnya, kesehatan mental kita yang menjadi taruhannya.

o   Adakah hal lain yang bisa Anda lakukan?

Sebelum Anda mengambil keputusan untuk berhenti, Anda mungkin perlu bertanya kepada diri sendiri: “Apa lagi yang bisa saya lakukan?”

Apakah melihat lowongan pekerjaan lain membuat Anda bersemangat? Apakah Anda ingin mencoba lingkungan atau cakupan pekerjaan yang berbeda? Sejauh mana kesiapan Anda untuk mempelajari keterampilan baru atau beradaptasi dengan tempat kerja yang baru?

Dulu saya pernah berpikir bahwa saya sudah cukup dengan karir menulis dan mengedit, jadi saya berhenti untuk mencoba sesuatu yang lain. Beberapa bulan setelah bekerja di pekerjaan baru, saya menyadari betapa saya merindukan pekerjaan lama saya. Mencoba hal lain membantu saya mengetahui apa yang benar-benar saya sukai. Jadi ketika saya kembali, saya tidak lagi merasa putus asa. Tidak ada yang berubah selain sudut pandang saya—dan kesadaran bahwa sebenarnya saya belum siap untuk melakukan sesuatu yang benar-benar baru.

Ada kalanya kita hanya perlu melangkah dengan iman dan melihat apa yang terjadi. Namun ada juga saat-saat di mana kita bisa mendapatkan manfaat dengan memikirkan terlebih dahulu berbagai kemungkinan skenario, agar kita dapat melihat situasi kita saat ini dari sudut pandang yang berbeda.

Bawa semuanya kepada Tuhan

Ketika Asaf, penulis Mazmur 73, merasa kecewa oleh ketidakadilan hidup, ia menggali perasaannya sendiri dan mengatakan kepada Tuhan secara jujur apa yang membuatnya tidak bahagia. “Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemakmuran orang-orang fasik (Mazmur 73:3),” katanya, sebelum melanjutkan keluhannya tentang bagaimana orang kaya dan jahat tampak semakin makmur sementara orang miskin dan tak bersalah terus menderita, mungkin termasuk dirinya.

Menggali lebih dalam ketidakpuasan kita dapat membantu kita menganalisis sumber sebenarnya dari kekecewaan kita, serta menolong kita menanganinya dengan bijak dan objektif. Kita dapat membawa semua detil ini kepada Tuhan, berbicara kepada-Nya tentang hal itu, dan berdoa memohon hikmat-Nya agar kita dapat merespons dengan cara yang menyenangkan hati-Nya.

Dalam kasus Asaf, perenungannya akhirnya membuat dia menemukan penghiburan dalam kebenaran bahwa Tuhan akan menegakkan keadilan pada waktu-Nya dan menolongnya melalui keadaan yang ia hadapi. “Siapakah yang kumiliki di surga selain Engkau?” demikian kesimpulannya, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” (Mazmur 73:25–26)

Apakah kita membutuhkan pertolongan Ilahi dan hikmat yang berasal dari Tuhan untuk menghadapi persoalan tertentu dalam pekerjaan kita atau dalam menghadapi orang-orang yang bekerja bersama kita? Ataukah kita perlu menangani sesuatu yang lebih dalam, seperti ekspektasi kita terhadap diri sendiri, harapan kita akan kepuasan kerja, atau bahkan krisis seperempat baya? Apakah kita memerlukan perubahan hati dan cara pandang yang hanya dapat diberikan oleh Roh Kudus?

Jika kita terus-menerus mencari Tuhan dalam pergumulan kita dan menempatkan jalan serta kehendak-Nya di atas keinginan kita sendiri, saya percaya Dia akan menghargai iman kita. Kita mungkin mendapati bahwa sebagian jawaban dan arahan-Nya menantang, tetapi kita tahu bahwa Bapa yang penuh kasih selalu memikirkan yang terbaik bagi kita.

Amsal 16:9 memberikan kita sebuah pengingat sekaligus penghiburan: “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.”

Pengingatnya adalah bahwa Tuhan adalah penentu utama dari apa yang terjadi: manusia boleh membuat rencana, tetapi Tuhan yang berdaulat memiliki keputusan terakhir. Namun inilah penghiburannya: ketika kita merencanakan jalan hidup kita (dengan hikmat dan ketelitian yang berasal dari Tuhan), kita dapat yakin bahwa Allah yang penuh kasih akan menjaga ke mana langkah kita berakhir, dan menegakkan kita dengan kokoh di jalan-Nya.

di dalam Articles
ADMIN WIN INDONESIA 21 Desember 2025
FIND MORE