The Pressure to Have it All

Oleh: Cindy Fransiska Teja, S.E., M.M.

Dalam kesempatan ini, saya ingin membagikan intisari dari salah satu bab buku “Under Pressure” yang ditulis oleh Andrew Laird, berjudul “Pressure to Have it All.” Ia mengumpamakan tekanan atau tuntutan ini seperti ketika kita pergi ke supermarket. Ketika berada di supermarket, kecenderungan kita adalah ingin membeli atau memiliki semua barang yang ada di sana. Barang-barang tersebut memang menarik dan kita pikir kita membutuhkannya. 

Dalam hidup, ada banyak tekanan yang kita hadapi. Khususnya di dunia kerja, ada ekspektasi dan tuntutan dari setiap jenis pekerjaan dan jabatan yang kita miliki. Di tempat kerja saya, sering kali ekspektasi yang saya hadapi adalah harapan untuk menguasai lebih dari satu keahlian. Misalnya, saya bekerja di bidang ekonomi dengan latar belakang Akuntansi. Ketika saya bekerja, saya diharapkan tidak hanya mengetahui Akuntansi, tetapi juga perpajakan dan keuangan, seperti membuat proyeksi arus kas dalam 6 bulan hingga 2 tahun ke depan, membuat proyeksi laba apabila perusahaan menjual produk utama dengan harga dan jumlah tertentu, dan lain sebagainya. 

Belum lagi harapan dari keluarga (pasangan, orang tua, keluarga besar, dll.), misalnya karena kita sudah menempuh pendidikan tinggi di sekolah yang baik dan bekerja di tempat yang bonafit, seharusnya dalam beberapa tahun sudah naik jabatan, mendapat fasilitas mobil, dll. Bahkan orang yang tidak ambisius pun bisa terdorong untuk memiliki ambisi agar bisa memiliki segalanya: pekerjaan yang bagus, rumah, mobil, bisa makan enak kapan saja, berlibur kapan saja, dll. 

Pekerjaan kita dijadikan alat untuk menghasilkan kekuasaan, uang, dan prestise agar kita bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Pekerjaan yang didesain untuk memelihara dan meneruskan karya Allah melalui talenta kita berubah menjadi alat untuk mencapai kepuasan pribadi, dan sering kali kita tidak menyadarinya karena hampir semua orang di sekitar kita melakukan hal yang sama. 

Apa masalahnya dengan hal tersebut? Mari kita baca bersama Yeremia 17:9: 

"Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?" 

Dari tafsiran Alkitab yang saya baca mengenai perikop ini, dikatakan bahwa hati manusia itu, sejak kejatuhan dalam dosa, pada dasarnya sudah korup. Jadi hati ini tidak lagi berfungsi sebagaimana desain awalnya, sehingga sudah selayaknya dibinasakan. Kedua, hati manusia digambarkan sebagai sesuatu yang sangat licik (deceitful), sehingga meskipun bobrok, ia bisa mengelabui siapa pun yang melihatnya, sehingga kebobrokannya tidak nampak di permukaan. Pressure to have it all juga berasal dari hati yang bobrok ini: 

A Discontent Heart (Hati yang Tidak Pernah Puas)

Mungkin kita tidak sadar bahwa ketika melakukan pekerjaan, kita selalu merasa belum memberikan yang terbaik atau merasa tidak mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kerja keras yang telah kita lakukan. Mungkin karena terlalu sering dibandingkan dengan apa yang dicapai orang lain, kita melupakan panggilan awal kita dalam bekerja. Kita ingin terus menambah keahlian tertentu demi take home pay yang lebih baik atau demi promosi. Pada akhirnya, fokus kita dalam bekerja bergeser dari menjalani panggilan Tuhan menjadi fokus pada pemenuhan kebutuhan diri agar tidak tertinggal dari orang lain. Dalam Matius 16:26 dikatakan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya, apakah yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya?” 

A Proud Heart (Hati yang Keliru dan Angkuh)

Tekanan untuk memiliki segalanya dapat menunjukkan pandangan yang salah tentang diri kita. Mungkin kita terperangkap dalam pemikiran bahwa kita mampu mengatasi beban pekerjaan, keluarga, sosial, dan gereja, yang sejujurnya mustahil bagi manusia. Pandangan ini keliru dan mencerminkan kesombongan. Kita berpikir kita bisa menjadi pegawai teladan, sekaligus menjadi pasangan yang baik, selalu punya waktu untuk keluarga, dan tetap aktif dalam pelayanan di gereja. Kita lupa bahwa kita adalah manusia yang terbatas oleh waktu, tenaga, dan dana. Kita lupa bahwa dalam hidup ini ada season of life, sehingga ada hal-hal berbeda yang perlu kita prioritaskan sesuai musim hidup kita. 

A Forgetful Heart (Hati yang Pelupa)

Hati ini berakar dari slogan: "Hidup ini hanya sekali, jadi kita perlu menikmatinya." Karena hidup hanya sekali, kita merasa harus memastikan segala hal yang kita inginkan tercapai sebelum kita meninggal. Atau mungkin kita memiliki pemikiran yang keliru bahwa bekerja adalah akibat dari kejatuhan kita dalam dosa, sehingga kita seenaknya mengorupsi waktu kerja dengan aktivitas yang tidak berguna karena merasa sebagai tuan atas hidup yang hanya sekali ini. Kita lupa bahwa ada yang perlu kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan setelah kematian kita. 

Lalu, apa solusi dari masalah hati yang sering kali tidak nampak dari luar ini? Mari kita baca bersama Mazmur 86:11: 

"Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya Tuhan, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu; bulatkanlah hatiku untuk takut akan nama-Mu."

 Pertama, Finding Contentment in the All-Satisfying God (Menemukan Kepuasan di dalam Tuhan)

Andrew Laird mengajak kita kembali bertanya kepada Pencipta kita karena hanya Dialah yang dapat memuaskan hati kita. Dengan memiliki hubungan pribadi yang intim dengan Pencipta kita, kita akan makin tajam memahami panggilan Tuhan atas hidup kita dan kebutuhan kita untuk merespons panggilan tersebut, sehingga kita merasa cukup atas hidup yang kita jalani dan berhenti berkompetisi dengan orang lain yang mungkin memiliki panggilan berbeda. 

Kedua, Relying on the All-Powerful God (Bersandar pada Allah yang Mahakuasa)

Kita perlu menyadari keterbatasan kita sebagai manusia dan bahwa hanya Allah yang tidak terbatas. Dengan begitu, kita bisa membuat skala prioritas. Saat ini saya mengambil cuti panjang untuk fokus pada studi S2 saya. Rekan kerja dan atasan sering menanyakan apakah mereka tetap dapat bertanya mengenai pekerjaan selama saya cuti, yang sempat menimbulkan kekhawatiran apakah transfer pengetahuan selama 2 bulan cukup untuk memastikan operasi perusahaan tidak terganggu. Namun, saya sadar bahwa perusahaan ini milik Tuhan. Jika cuti saya disetujui, ini menandakan Tuhan masih ingin saya berkarya di perusahaan ini, dan Dia juga yang akan menyertai saya dalam studi. 

Ketiga, Hoping in the Eternal God (Berharap pada Allah yang Kekal)

Ada cerita dari buku Every Good Endeavour karya Timothy Keller tentang seorang pria bernama Nigel yang ingin melukis pohon secara sempurna, tetapi hanya berhasil melukis satu daun sebelum meninggal. Ia kemudian bertemu dengan Tuhan dan melihat bahwa pohon yang ia ingin gambar ada di sana. Apakah kita memiliki pengharapan yang sama? Kita yakin bahwa pekerjaan kita bernilai kekal, sehingga kita lakukan sebaik mungkin seperti dalam Kolose 3:23, "Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."

 





*Penulis adalah pengurus WIN, seorang akuntan di sebuah perusahaan asing di Jakarta
Administrator November 5, 2024
Share this post
FIND MORE