Semua yang mengaku orang Kristen, apapun profesinya, pasti sering mendengar khotbah dan pengajaran tentang pentingnya pemberitaan Injil, bahwa masih ada orang-orang yang belum diselamatkan, juga pentingnya pertumbuhan rohani, terus belajar Alkitab dan doktrin-doktrin penting di dalamnya. Ada banyak profesional Kristen yang saleh, mereka aktivis gereja yang sudah “dibina” dan mengetahui banyak pengajaran serta mampu membedakan mana pengajaran yang baik dan mana yang sesat.
Tetapi, ada satu hal yang mengusik saya sepanjang 20 tahun perjalanan karir saya: “Mengapa tidak ada dampak kekristenan di dunia kerja, bahkan di kantor-kantor yang dimiliki dan didominasi orang Kristen? Secara personal, saya kenal banyak di antara mereka yang punya kerohanian dan pelayanan yang baik, tetapi tidak menunjukkan keimanan mereka di tempat kerja atau paling banter hanya dalam bentuk formalitas berupa persekutuan di kantor mereka. What's wrong?
Kita menghabiskan sebagian besar waktu di dunia kerja, tetapi sepertinya iman kita kita tinggalkan di pintu masuk kantor. Mengapa kita tidak memiliki semangat, tekad, dan aksi untuk “mengubah” dunia kerja, sementara ada banyak orang memperjuangkan perubahan iklim, hak LGBT, persamaan gender, dan pengentasan kemiskinan dengan “keimanan” yang teguh atas apa yang mereka perjuangkan?
Kegelisahan saya terjawab ketika mengikuti summer course Faith & Work yang diadakan oleh Center for Faith & Work New York—bagian dari Redeemer Church. Worldview dan pengenalan saya akan Alkitab selama ini kurang menyeluruh dan terkotak-kotak sehingga membuat adanya jurang (gap) antara iman dan kerja/kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Pandangan dan narasi dominan dalam kekristenan saat ini adalah pentingnya keselamatan pribadi. Keselamatan itu bersifat khusus melalui pengudusan dari Roh Kudus. Kita dipisahkan dari dunia untuk menjadi milik Allah, sehingga sikap dan pola pemikiran kita adalah Kristen vs non-Kristen. Kita jadi seperti “memusuhi dunia,” alergi dan anti pada budaya, serta berusaha untuk berkelompok dengan sesama Kristen untuk “mempertahankan” doktrin dari “serangan luar.” Bagi kita, dunia itu jahat!
Padahal, hal itu belum lengkap. Apa tujuan keselamatan pribadi? Narasi besar dari keseluruhan Alkitab dimulai dari penciptaan yang amat baik adanya, kemudian mengalami kejatuhan dalam dosa. Ada keputusan penyelamatan Allah melalui Kristus dan diakhiri dengan kedatangan-Nya yang kedua kali membawa “the new creation” langit baru-bumi baru. Jadi, keselamatan tidak hanya bersifat pribadi, melainkan Allah terus bekerja menopang dunia ini melalui anugerah umum (common grace) yang dapat dilihat melalui bekerjanya Roh Kudus dalam dunia ini. Maka, kerangka berpikir kita haruslah antara dosa vs anugerah.
Kita hidup dalam masa-masa “sudah” dan “akan datang” mirip seperti orang Israel di masa pembuangan. Kita masih berada di dunia yang rusak akibat dosa, sehingga keberadaan kita haruslah mampu menggambarkan “kerajaan” yang akan datang. Dunia mencicipi shalom dan kebaikan Allah melalui kita, para murid-Nya di jaman ini.
Mereduksi iman hanya menjadi urusan antara Tuhan dan saya, yang penting saya dan keluarga selamat dan percaya Tuhan, membuat kita melupakan panggilan utama kita: bekerja bersama Tuhan dan menjadi rekan sekerja-Nya dalam mengupayakan kesejahteraan kota dan dalam membawa pengharapan yang dijanjikan untuk restorasi seluruh ciptaan-Nya. Menerima iman sebagai keselamatan pribadi membuat kita telah mengecilkan pengalaman Kristen hanya dalam urusan hati dan pikiran kita saja. Ini memang penting, tetapi kehidupan Kekristenan lebih dari sekadar itu. Karena Injil, kita dapat mengerjakan iman kita melalui apa yang ada di dalam pikiran, hati, dan hidup kita sehingga melalui semua ini kita dapat mentransformasi komunitas, industri tempat kita bekerja, dan dunia bagi kesejahteraan bersama. Itulah bentuk nyata menjadi garam dan terang karena kasih kita bagi-Nya dan bagi sesama.
*Penulis adalah seorang profesional Kristen yang melayani sebagai pengurus WIN