Keeping Our Identity as God's People

Oleh: Redaksi
Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan dirinya. –Daniel 1:8

 

Apa yang akan Anda lakukan apabila tiba-tiba mendapatkan tugas atau pekerjaan dimana Anda, dan mungkin beberapa rekan, merupakan satu-satunya orang Kristen? Atau, apakah yang akan Anda lakukan, apabila ada perintah dari atasan yang secara langsung bersinggungan dengan praktik iman Anda (mis. Kebersamaan kantor pada hari Minggu)? Hal semacam itu pula yang dihadapi oleh Daniel dan ketiga temannya, yaitu Hananya, Misael, dan Azarya.

Dalam sekejap mata, keempat pemuda Yerusalem tersebut mengalami perubahan nasib yang sangat drastis. Negeri mereka diserang, dan para anak bangsawan tersebut menjadi orang-orang yang dipilih untuk ditawan dan dipekerjakan ke negeri penjajah. Di istana Babel, mereka diberikan nama-nama baru dan diberikan menu santapan raja. Namun, Daniel dan teman-temannya menolak “fasilitas” kedua karena menurut keyakinan iman mereka, makanan dan minuman dari santapan raja akan menajiskan diri mereka, menghapus identitas mereka sebagai umat TUHAN—selain mengandung bahan-bahan makanan yang diharamkan oleh hukum Taurat, sajian untuk raja biasanya terlebih dahulu dipersembahkan kepada dewa sesembahan mereka.

Kisah selanjutnya tentu kita telah ketahui bersama, yakni bahwa akhirnya keempat tawanan tersebut dapat menjaga kekudusan dan identitas mereka karena Allah mengaruniakan kasih dan sayang dari pemimpin pegawai istana, yang mengabulkan permohonan mereka setelah mengadakan percobaan selama sepuluh hari. Selain itu, kepada mereka dikaruniakan kepandaian dan hikmat hingga sepuluh kali lipat dari semua orang berilmu di kerajaan itu (lih. Daniel 1:20).

Akan tetapi meski berada di negeri yang jauh, Daniel dan teman-temannya tetap meyakini, bahwa kuasa serta penyertaan TUHAN tidak terbatas di Yerusalem saja, melainkan hingga ke negeri tempat mereka ditawan. Identitas mereka sebagai umat TUHAN tidak pernah mereka sembunyikan. Untuk hal seperti pemberian nama baru (Daniel menjadi Beltsazar, Hananya menjadi Sadrakh, Misael menjadi Mesakh, dan Azarya menjadi Abednego), mereka dapat menerimanya, namun untuk hal yang terkait langsung dengan identitas serta kekudusan sebagai umat Allah, mereka tak berkompromi. Tak ada dalih bersikap “profesional” atau “toleran”. Oleh karena itulah, TUHAN berkenan atas mereka dan mengaruniakan pengetahuan serta hikmat yang tak ada duanya di seluruh kerajaan Babel.

Sebagai umat Tuhan yang berada di tengah-tengah dunia kerja serta profesi yang tak mengenal Allah, kita dapat mengambil teladan dari Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya ketika ditawan di Babel. Kita harus menetapkan garis batas kompromi terhadap kebiasaan, aturan, serta perintah yang dapat menghalangi relasi kita dengan Allah, di dalam keyakinan, bahwa Dia akan memberikan solusi terbaik (dalam kasus Daniel dan teman-temannya, Allah mengaruniakan kasih dan sayang dari pemimpin pegawai istana terhadap mereka).

Di tahun yang baru ini, marilah kita menjadi Daniel-Hananya-Misael-Azarya masa kini, yang tetap teguh menjadi identitas sebagai umat Allah, yang tidak menjadi serupa dengan lingkungan sekeliling kita, tetapi berubah oleh pembaruan budi kita, sehingga kita dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna (lih. Roma 12:2).


Redaksi January 9, 2025
Share this post
FIND MORE