Di dalam setiap fase kehidupan, kita selalu berhadapan dengan kesulitan dan tantangan. Di fase remaja, kita dibebani oleh tugas-tugas sekolah, gejolak hormon—yang seringkali menyulitkan sebagian orang, peralihan tanggung jawab dari masa kanak-kanak ke masa remaja, dan persoalan-persoalan lainnya. Memasuki masa dewasa, tantangan yang kita hadapi kian kompleks. Tantangan itu adalah tuntutan untuk segera bekerja setelah memasuki masa studi, apalagi kita memasuki usia produktif bekerja. Setiap masa memiliki tantangannya sendiri, tak terkecuali saat kita bekerja.
Dalam dunia pekerjaan, kita menemui berbagai kesulitan dan tantangan datang bermunculan, baik dari pekerjaan itu sendiri maupun faktor luar. Sebutlah atasan yang sering menyuruh bekerja di saat jam kerja sudah hampir habis, atau supplier yang tidak bisa tepat waktu dalam mengirimkan barang-barang, atau klien yang memiliki stok permintaan yang tiada habisnya. Belum lagi ditambah dengan masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti rekan kerja kita yang seringkali bergosip atau makanan kita di lemari es kantor yang sering berkurang tanpa kita ketahui.
Hal ini membuat tantangan di dunia pekerjaan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan. Kesulitan menjadi makanan yang kita hadapi sehari-hari. Kita tidak bisa mengontrol hadir atau tidaknya suatu kesulitan atau tantangan.
Walaupun begitu, kita memiliki kontrol untuk meresponinya.
Ketika pikiran dan perasaan kita difokuskan pada banyaknya tantangan yang ada, maka energi kita akan habis dan tidak ada sukacita yang menyertai pekerjaan kita. Tak ayal kita menjadi jenuh walaupun baru seumur jagung menjalani pekerjaan tersebut. Setiap Senin menjadi hari paling menyebalkan dan setiap Jumat menjadi hari yang dinanti-nantikan—hingga muncul frasa "I don't like Monday" dan "Thanks God It's Friday".
Tetapi, ketika fokus kita diarahkan untuk meresponi kesulitan dan tantangan yang kerap kali muncul, kita akan jauh lebih bertenaga dan memiliki semangat kemenangan dalam menghadapinya.
Ada beberapa pemikiran yang dapat melandasi respon kita terhadap kesulitan dan tantangan tersebut:
1. Memposisikan Allah sebagaimana Dia adalah Allah
Ketika kita sedang fokus kepada tantangan atau kesulitan, kita biasanya akan menjadikannya sebagai pusat kehidupan kita. Bukannya mempercepat penyelesaian masalah, tindakan ini malah membuat kita terlarut di dalam kesulitan. Hanya Allah yang sebenarnya patut menjadi pusat kehidupan kita. Kita harus paham bahwa Allah adalah pribadi yang paling tepat menduduki posisi ini. Tidak sekedar paham, kita juga harus memiliki penyerahan diri terhadap Allah. Kita perlu berserah bahwa Allah yang memegang kendali atas hidup kita. Kita juga perlu percaya bahwa Allah memiliki rencana di luar batas pengetahuan kita, dan rencanaNya adalah rencana kebaikan (Roma 8:28). Kita juga perlu menyadari bahwa Allah berkuasa atas kesulitan atau tantangan tersebut (Mazmur 91: 4-16). Karena itu, kita tidak perlu kuatir lagi. Keyakinan ini seyogyanya membuat kita lebih mengerti bahwa setiap kesulitan atau tantangan yang kita hadapi memiliki nilai baik. Alasannya jelas, yaitu ada hal-hal yang ingin Tuhan ajarkan kepada kita lewat kesulitan-kesulitan tersebut.
2. Menyadari posisi kita sebagai rekan sekerja Allah
Karena seluruh elemen di dalam dunia ini sudah tercemar oleh dosa, tak terkecuali pekerjaan kita. Inilah asal muasal dari segala jenis kesulitan yang kita temui saat bekerja. Kita perlu memiliki pemahaman ini. Kita juga perlu memahami bahwa Allah memiliki maksud untuk merestorasi setiap hal di muka bumi ini, termasuk pekerjaan kita. Untuk melakukan hal itu, kita dipilih Allah untuk menjadi rekan kerjaNya sejak awal penciptaan (Kejadian 2:15) hingga saat ini. Kita ditugaskan oleh Allah untuk memulihkan dunia ini, termasuk bidang pekerjaan kita di dalamnya. Ketika kita dipercayakan tugas yang tidak kecil ini, apakah kita akan menyerah ketika menemui satu atau dua kesulitan?
3. Melihat nilai baik dari suatu pekerjaan
Pemahaman yang keliru seringkali mengkonotasikan bekerja sebagai akibat manusia jatuh ke dalam dosa. Pemahaman ini perlu diperbaiki. Sejak penciptaan, Allah telah mulai bekerja. Allah bahkan melihat hasil penciptaanNya (baca: hasil pekerjaanNya) yaitu bumi dan segala isinya adalah sesuatu yang sangat baik (Kejadian 1: 31). Lalu, Adam diberi pekerjaan, bahkan sebelum ia jatuh ke dalam dosa. Hal ini menjelaskan bahwa ada nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh setiap pekerjaan.
Pekerjaan dapat memberikan penghidupan bagi banyak orang. Tanpa kita sadari setiap pekerjaan yang kita miliki akan memiliki dampak bagi orang lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Seorang petani sayuran akan menjual barang dagangan ke pemborong. Setiap pemborong akan mengantarkan sayuran yang telah dibeli dengan sebuah truk ke pasar induk. Di pasar induk, berdatangan para pedagang sayur, baik yang memiliki kios ataupun hanya berjualan keliling. Kemudian, ketika pedagang sayur keliling menjajakan jualannya, seorang ibu akan membeli sayur untuk dimasak di rumahnya. Kini, suami dan anak dari ibu itu akan mendapatkan gizi yang cukup dari sayur mayur yang dkonsumsi.
Jika salah satu pekerjaan tidak dilakukan dengan baik, tentu hasilnya akan berbeda. Sebut saja petani tidak menghasilkan panen yang berkualitas, atau tukang sayur terlalu siang datang ke pasar induk sehingga kehabisan sayur mayur dengan kualitas bagus. Bisa jadi hari ini sang ibu tidak dapat memasakkan sayur untuk keluarganya di rumah.
Dari contoh ini, semoga kita bisa menyadari bahwa pekerjaan kita memiliki nilai baik bagi orang lain. Sehingga, kesulitan atau tantangan apapun yang kita miliki tidak akan menghalangi kita untuk menghasilkan pekerjaan yang berkualitas.
4. Memiliki pemikiran akan adanya harapan yang nyata
Situasi yang kritis seringkali melemahkan kondisi psikologis kita. Hal ini biasanya diakibatkan oleh munculnya perasaan tidak memiliki harapan. Jika keadaan ini dibiarkan terus menerus, depresi—bahkan kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri— mungkin terjadi.
Sebelum kita mencapai tahapan yang merugikan diri sendiri, kita perlu memiliki harapan yang nyata. Caranya adalah dengan menyadari bahwa kondisi yang tidak menyenangkan tersebut memiliki suatu batas waktu. Contohnya seorang tawanan perang memiliki kemungkinan bertahan lebih tinggi ketika ia yakin bahwa suatu waktu ia akan bebas dan bertemu dengan keluarganya kembali.
Alih-alih terfokus pada tekanan yang kita dapatkan, Pemazmur menyerukan agar kita selalu memiliki pengharapan di dalam Tuhan (Mzm 42:6). Pengharapan tersebut akan lebih nyata ketika kita membaca narasi-narasi di dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan setiap tokoh tersebut tidak selalu berada di dalam kondisi yang sama. Daniel tidak selalu terkunci di goa singa, Yusuf tidak selalu di dalam penjara, dan Ayub tidak selalu duduk dengan tubuh penuh barah. Pengkhotbah pun mengetahui bahwa setiap masa ada waktunya. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari (Pengkotbah 3: 4). Kiranya harapan yang nyata ini dapat terus membakar semangat kita untuk melakukan pekerjaan kita, meskipun kesulitan dan tantangan terus menerus menghampiri.
Mungkin saat ini cerita kita belum selesai. Tapi, pada akhirnya nanti kita akan sama seperti Ayub, Yusuf, dan Daniel yang berhasil melewati kondisi yang kelihatannya tanpa jalan keluar. Kita bisa menang atas kesulitan dan tantangan yang menghadang.
Perjalanan kita di dunia pekerjaan tidak selalu mulus. Kita akan menemui kerikil-kerikil bahkan pohon tumbang di tengah jalan ketika kita sedang bersemangat mengerjakan panggilan di dunia kerja. Tetap menjaga api semangat adalah hal yang penting. Kita juga perlu terus menyadari posisi Allah, posisi kita, nilai yang baik dari pekerjaan dan harapan yang nyata. Semuanya itu adalah kunci agar kita bekerja dengan semangat kemenangan. Selamat berkarya!