Apa Yang Bisa Bikin Kita Tangguh?

Oleh: Wanlie
Berikut ini terjemahan bebas dari artikel Jon Bloom di situs desiringgod.org pada tanggal 19 Maret 2023. Artikel ini menarik perhatian saya. Judulnya sama dengan judul artikel ini: What Will Make You Resilient? 

 

"Resilient" adalah kata yang sulit diterjemahkan dalam satu kata di bahasa Indonesia. Resilient mengandung unsur keuletan, tidak kenal lelah, tidak mudah menyerah, ada unsur tangguh, yaitu kuat menghadapi apa pun. Ini adalah sifat atau sikap yang penting kita miliki dalam hidup ini.

 

Ceritanya di jalan yang tidak jauh dari rumah Jon ada studio keramik tempat artisan lokal memajang hasil karyanya yang indah untuk dijual. Bayangkan kalau kamu dan saya sedang di dalam toko kecil ini sedang melihat-lihat dan mengagumi hasil keahlian pembuat keramik ketika tiba-tiba masuklah seorang pria berwajah sangar membawa pemukul bola bisbol.

 

Sebelum kita sempat bereaksi, pria ini mendekati sebuah pot indah yang tampak rapuh di area tengah tempat pot itu dipajang dan mengayunkan pukulan keras. Anda dan saya mengernyit, mengantisipasi pot itu akan meledak pecah berkeping-keping. Herannya, pot itu menerima pukulan itu dan terlempar ke tembok belakang dan jatuh ke tanah secara utuh. Pria itu menggeram frustrasi sambil berjalan dan memungut pot itu, melemparkannya ke tembok depan. Kembali pot itu menolak untuk pecah. Setelah bersumpah serapah, pria ini menginjak-injak pot itu dan terakhir menonjok pot itu sebelum dia keluar. Pot meluncur dan berguling di lantai, lalu berhenti tapi tidak pecah. Kita berdua, anda dan saya mendekatinya dan memeriksa dengan cermat. Jelas-jelas terbuat dari tanah liat tapi tidak ada retakan. Itulah pot yang "resilient." Saya tanya "Ini jenis tanah liat apa". Kamu menggelengkan kepala dengan kagum dan malah bertanya "Siapa ya pembuatnya?"

 

Ketangguhan tak Terhancurkan

Mengapa anda dan saya menganggap pot ini membingungkan? Karena semua tahu jenis keramik ini tidak tangguh. Itu rentan – dan mudah pecah. Kerentanan dan ketangguhan adalah berlawanan. Sesuatu itu hanya salah satu pilihan: rentan atau tangguh, rapuh atau dapat ditekuk, tidak keduanya. Namun tembikar tahan banting ini yang jadi metafora paradoks ketika rasul Paulus menjelaskan ketangguhan orang Kristen:

 

"Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus dalam tubuh kami supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami."
(2 Korintus 4: 7-10)

 

Jika kamu dan saya adalah orang Kristen maka kitalah keramik atau pot yang bikin bingung itu. Kita guci tanah liat rapuh yang seharusnya pecah terkena pukulan dari berbagai jenis penderitaan yang kita alami. Tapi kita juga punya kapasitas untuk jadi tangguh tak terhancurkan (indestructibly resilient), membuat orang yang mengamati kita bertanya-tanya kekuatan misterius apa yang terpanggang masuk dalam diri kita. Mereka juga akan bertanya, "Siapakah pembuatnya?"

 

Saat ini, jika anda seperti saya, anda tidak merasa diri anda “tangguh tak terhancurkan”. Kapasitas kita untuk “dihempaskan dan tidak binasa” tidak tergantung pada persepsi kita atau tekad diri. Menurut rasul Paulus di ayat berikutnya, ketangguhan (atau kekurang-tangguhan) tergantung pada di mana kita mencari harapan. Mari kita lihat contoh nyatanya.

 

Joni Erikson Tada berusia 17 tahun ketika ia mengetahui betapa rapuhnya tubuhnya ketika di hari musim panas tahun 1967 dia menyelam di Chesapeake Bay dan mengalami kecelakaan sehingga menjadi lumpuh. Sejak saat itu ia hidup dalam kursi rodanya. Ia butuh orang-orang yang membantunya untuk melakukan hal-hal dasar sehari-hari. Rasa sakit kronis juga tambahan penderitaan dari sakit kanker dan Covid, merupakan pengingat kuat atas kelemahan tubuhnya. Tapi lebih dari 50 tahun kemudian, jutaan orang di seluruh dunia menggambarkan Joni sebagai salah seorang Kristen yang sangat tangguh, rajin, berbuah, menulari orang dengan sukacitanya. Dia penulis dan pembicara berpengaruh, seorang seniman dan pendiri organisasi internasional yang melayani orang cacat dan keluarga mereka di seluruh dunia. Ketika anda membaca tulisan Joni atau mendengarnya bicara atau bernyanyi bahkan bertukar e-mail (seperti yang Jon lakukan), kecacatan dan pencapaiannya yang luar biasa dapat terjadi oleh kasihnya bagi Yesus dan kegigihan imannya. Dia menunjukkan kekuatan hati yang berasal dari “dunia” lain, memampukannya menahan setiap pukulan. Setelah tiap pukulan mereda, dia masih duduk di kursi rodanya memancarkan sukacita pengharapan.

 

Di mana kita temukan ketangguhan itu?

 

2 Korintus 4: 16-18: apa yang menguatkan jati diri orang Kristen dan menjaganya dari keputusasaan bahkan ketika manusia lahiriah kita semakin merosot adalah di mana dia memutuskan untuk mengarahkan mata hatinya. Jika kita fokus pada hal-hal lahiriah yang kelihatan, realitas kesia-siaan, dosa dan penderitaan maka kita akan kehilangan pengharapan dan tidak akan tahan akan penderitaan yang kita alami. Sebaliknya bila kita fokus pada hal-hal yang tidak kelihatan, kekal, maka Allah sumber pengharapan akan mengisi kita dengan sukacita dan damai sejahtera oleh Roh Kudus yang memberi kekuatan, bahkan sekalipun ketika kita menjalani penderitaan terburuk. Fokus ini mengubah perspektif kita dari penderitaan berat menjadi ringan dan sementara dibanding kekekalan dan kemuliaan yang nanti akan kita alami.

 

Latihan iman inilah yang membuat Joni tetap utuh. Dia bukan superhero yang diberkati dengan stamina super atau temperamen gembira luar biasa. Dapat dibaca di bukunya bagaimana dia menjelaskan betapa gelap hidup baginya. Kuncinya adalah dia memilih untuk memfokuskan mata hatinya pada Tuhan. Dalam salah satu bukunya dia menulis:

 

"...saya telah hidup dalam kelumpuhan lebih dari setengah abad dan berjuang melawan kesakitan kronis di sebagian besar waktu. Saya juga kesulitan bernapas dan sedang melawan kanker. Semua ini seperti badai yang menyebabkan keputusasaan. Tapi ketika kaki dan punggung saya membeku kesakitan, saya menguatkan diri dengan teladan Yesus, saya berdoa dan menyanyi. Penyelamatku mengajarkan untuk selalu memilih lagu yang menguatkan iman, maka tiap hari saya memikul salib ke nada-nada hymne."

 

Ada banyak strategi yang tersedia bagi kita. Tiap-tiap kita harus belajar untuk mengenal dengan baik strategi mana paling efektif bagi kita agar tetap memfokuskan mata hati kita pada hal-hal tak terlihat, kemuliaan di masa datang, harapan akan langit baru dan bumi baru ketika semua transformasi disempurnakan oleh Sang Pencipta.

Administrator July 6, 2024
Share this post
FIND MORE